Psikologi Lintas Budaya 4
Nama : Catherina Ulyartha Elisabeth
Kelas : 3PA01
NPM : 11510524
Akulturasi
Psikologis
Akulturasi
Menurut
Koentjaraningrat (1996: 155) adalah istilah dalam sosiologi yang memiliki
berbagai makna, yang kesemuanya itu mencakup konsep mengenai proses sosial yang
timbul apabila sekelompok manusia dengan kebudayaan tertentu dihadapkan kepada
unsur-unsur dari suatu kebudayaan asing sehingga unsur-unsur asing tersebut
lambat laun diterima dan diolah ke dalam kebudayaan sendiri, tanpa menyebabkan
hilangnya kepribadian kebudayaan tersebut. Unsur kebudayaan tidak pernah
didifusikan secara terpisah, melainkan senantiasa dalam suatu gabungan atau
kompleks yang terpadu.
a.
Proses Akulturasi
Proses
akulturasi, Koentjaraningrat lebih lanjut menjelaskan bahwa proses akulturasi
memang sudah terjadi sejak zaman dulu kala, akan tetapi akulturasi dengan sifat
yang khusus baru terjadi ketika kebudayaan-kebudayaan bangsa Eropa Barat mulai
menyebar ke daerah-daerah lain di muka bumi pada awal abad ke-15 dan mulai
mempengaruhi masyarakat-masyarakat suku bangsa di Afrika, Asia, Oseania,
Amerika Utara, dan Amerika Latin.
G.M.
Foster (dalam Koentjaraningrat 1990a: 97) meringkas proses akulturasi yang
biasanya terjadi bila suatu kebudayaan terkena kebudayaan asing bahwa :
-
Hampir semua proses akulturasi mulai dari golongan atasan yang biasanya tinggal
di kota, lalu menyebar ke golongan-golongan yang lebih rendah di daerah
pedesaan. Proses tersebut biasanya di mulai dengan perubahan sosial-ekonomi.
-
Perubahan dalam sektor ekonomi hampi seluruh menyebabkan perubahan yang penting
dalam asas-asas kehidupam kekerabatan.
-
Penanaman tanaman untuk ekspor dan perkembangan ekonomi uang merusak pola
gotong royong tradisional, dan karena itu berkembanglah sistem pengerahan
tenaga kerja yang baru.
-
Perkembangan sistem ekonomi utang juga menyebabkan perubahan dalam
kebiasaan-kebiasaan makan dengan segala akibat dengan aspek gizi, ekonomi,
maupun sosialnya.
-
Proses akulturasi yang berkembang cepat menyebabkan berbagai pergeseran sosial yang
tidak seragam dalam semua semua unsur dan sektor masyarakat, sehingga terjadi
keretakan masyarakat.
-
Gerakan-gerakan nasionalisme juga dapat dianggap sebagai salah satu tahap dalam
proses akulturasi.
b.
Kontra Akulturasi
Kontra
akulturasi, menurut Koentjaraningrat (1990a: 112) dalam suatu masyarakat yang
terkena proses akulturasi dan berada dalam transisi dari kebudayaan tradisional
ke kebudayaan masa kini, berikut segala ketegangan, konflik, dan kekacauan
sosialnya, tentu banyak individu atau golongan sosial yang tidak dapat
menyesuaikan diri dengan keadaan krisis seperti itu. Mereka adalah orang-orang
yang tidak tahan hidup dalam suasana tegang yang terus menerus. Namun, mereka
juga tidak suka dengan pembaharuan, mereka itu adalah orang-orang “kolot”.
Golongan
kolot dalam masyarakat yang sedang mengalami transisi yang cukup kuat, mampu
menyusun kekuatan untuk menentang unsur-unsur baru dan menghentikan proses
akulturasi untuk sementara waktu.
Sebaliknya
jika golongan ini tidak kuat menghadapi proses akulturasi yang sudah sedemikian
jauh, maka seringkali mereka berusaha untuk menghindarinya. Mereka akan mencari
kepuasan batin seakan-akan menarik diri dari kehidupan masyarakat nyata, dan
bersembunyi dalam dunia kebatinan mereka, di mana mereka dapat memimpikan zaman
kebahagiaan masa lampau.
Fenomena
ini adalah awal dari gerakan kebatinan kontra-akulturasi, suatu gejala
masyarakat yang timbul dalam zaman transisi kebudayaan untuk menentang proses
akulturasi.
c.
Permasalahan Psikologi Dalam Proses Akulturasi
Koentjaraningrat
(1990a: 105-107) menerangkan bahwa kita dapat mengerti bahwa perbedaan proses
akulturasi dalam sutu kebudayaan (yaitu akulturasi diferensial) juga dapat
disebabkan karena perbedaan kepribadian individu-individu dengan watak kolot,
tetapi ada juga yang berwatak progresif masalah sebab musabab yang telah
mendalam mengenai adanya individu yang lebih progresif dari yang lain, dan
masalah bagaimana cara merangsang agar individu-individu yang progresif dalam
suatu masyarakat menjadi lebih menonjol telah menjadi perhatian beberapa ahli
sosiologi psikologi dari Amerika.
Beberapa
ahli sosiologi meragukan adanya watak kolot atau watak progresif yang dapat
mempengaruhi suatu proses akulturasi dalam masyarakat, yang karena itu
mengakibatkan gejala akulturasi diferensial. Sifat yang kolot atau progresif
tidak ditentukan oleh kepribadian individu secara psikologi, tetapi oleh
keadaan sosial di mana individu yang bersangkutan itu berada.
Para
ahli yang berpendirian demikian berpendapat bahwa individu-individu dalam suatu
masyarakat yang bersifat kolot adalah mereka yang sudah memiliki kedudukan yang
baik dalam masyarakat. Mereka tidak menyukai perubahan terjadi, karena dengan
demikian keadaan yang baru akan mengubah kedudukan yang sudah dimilikinya.
Sebaliknya
individu yang progresif adalah individu yang belum atau tidak memiliki
kedudukan yang baik. Pendapat ini pernah diuji oleh penelitian E. Vogt. Vogt
meneliti 12 orang bekas pejuang tentara Amerika Serikat yang berasal dari
suku-suku Indian Navaho. Ke 12 orang tersebut mempunyai latar belakang yang
sama, mengalami pendidikan yang sama, mempunyai pengalaman pertempuran yang
sama pula. Akan tetapi sewaktu mereka keluar dari tentara ada yang hidupnya
kembali seperti dulu, menjadi penggembala domba. Adapula yang hidupnya tidak
teratur dan adapula beberapa yang telah meninggalkan masyarakat Navaho dan
mempunyai kedudukan di tengah-tengah masyarakat orang bule.
Penelitian
Vogt ini dilakukan dengan menggunakan tes psikologi, dan berhasil menyimpulkan
bahwa orang-orang Navaho yang sebelumnya memiliki kehidupan yang memuaskan di
tengah masyarakat Navaho, kembali menjadi orang kolot, sedangkan mereka yang
dulunya belum memiliki kedudukan tetap, menjadi orang yang progresif atau
menjadi kacau.
Berdasarkan
penjelasan yang diatas, menurut saya dapat diketahui dengan jelas adalah Akulturasi
Psikologis, merupakan sebuah bentuk dari kondisi psikologis individu/kelompok
dalam proses akulturasi. Dimana, sebuah kebudayaan baru yang masuk ke dalam
kebudayaan lama namun tidak menghilangkan kebudayaan aslinya/lama. Kondisi tersebut
pasti akan sangat memberikan dampak besar bagi orang-orang yang terlibat di
dalamnya. Mereka akan menjalani sebuah penyesuaian yang baru lagi, tetapi tidak
merubah kebiasaan lama mereka. Hal ini tentu sangat berpengaruh bagi kejiwaan
mereka, atau keadaan psikis mereka. Lingkungan serta budaya sangat memiliki
pengaruh besar pada kondisi psikologis individu, karena dua hal tersebut
merupakan faktor eksternal untuk kesejahteraan individu dalam menjalankan
kehidupannya.
Sumber
:
http://bregedugetwita.blogspot.com/2010/01/dinamika-kebudayaan.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar